Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”, atau agar
kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah
mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak
keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan
membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?“ (Q.S Al A’raaf Ayat: 172 dan 173)
Pada
hakekatnya kebutuhan manusia yang paling mendasar adalah tuhan.
Keterbatasan yang dimiliki setiap manusia merupakan fitrah yang telah
tuhan tetapkan. Sehingga dengan keterbatasannya yang di miliki tersebut,
manusia membutuhkan tuhannya sebagai tempat bergantung
dan setiap apa yang telah kita lakukan di dunia ini akan diminta
pertanggung jawabannya.
Pergeseran
paradigma seiring dengan derasnya aliran arus zaman, Yakni, sebuah arus
globalisasi yang semakin berkembang saat ini. Telah melahirkan suatu
zaman baru, seperti yang telah di gambarkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib R.A. yakni:
Aku
khawatir terhadap suatu masa yang roda kehidupannya dapat menggilas
keimanan. Keimanan hanya tinggal pemikiran yang tidak berbekas dalam
perbuatan. Ada orang baik tapi tak berakal, ada orang berakal tapi tak
beriman. Ada lidah fasih tapi berhati lalai, ada yang khusyuk namun
sibuk dalam kesendirian. Ada ahli ibadah tapi mewarisi kesombongan
iblis. Ada ahli maksiat yang rendah hati bagaikan sufi. Ada yang terlalu
banyak tertawa hingga hatinya berkarat dan ada yang banyak menangis
karna kufur nikmat. Ada yang murah senyum tapi hatinya mengumpat dan ada
yang berhati tulus tapi wajahnya cemberut. Ada yang berlisan bijak tapi
tak memberi teladan dan ada pelacur yang tampil jadi figur. Ada orang
punya ilmu tapi tak faham, ada yang faham tapi tak menjalankan. Ada yang
pintar tapi membodohi, ada yang bodoh dan tak tau diri. Ada orang
beragama tapi tak berakhlak, ada yang berakhlak tapi tak bertuhan. Lalu
di antara semua itu dimana aku berada ? (Imam Ali bin Abi Thalib R.A)
banyak
orang berbahasa yang baik dengan maksud yang buruk! yakni, Janji-janji
muluk dari para pemimpin yang masih menggunakan cara berpikir ala
“zionisme” (kekuasaan). Di dalam merumuskan serta menetapkan
peraturan-peraturan formal yang digunakan di dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar