Mengenai Saya

Foto saya
Sukalilah, Bandung, Jawa Barat, Indonesia

Arsip Blog

Sabtu, 14 Juli 2012

Banyak Orang Berbahasa yang Baik dengan Maksud yang Buruk!

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”, atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu? (Q.S Al A’raaf Ayat: 172 dan 173)
Pada hakekatnya kebutuhan manusia yang paling mendasar adalah tuhan. Keterbatasan yang dimiliki setiap manusia merupakan fitrah yang telah tuhan tetapkan. Sehingga dengan keterbatasannya yang di miliki tersebut, manusia membutuhkan tuhannya sebagai tempat bergantung dan setiap apa yang telah kita lakukan di dunia ini akan diminta pertanggung jawabannya.
Pergeseran paradigma seiring dengan derasnya aliran arus zaman, Yakni, sebuah arus globalisasi yang semakin berkembang saat ini. Telah melahirkan suatu zaman baru, seperti yang telah di gambarkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib R.A. yakni:
Aku khawatir terhadap suatu masa yang roda kehidupannya dapat menggilas keimanan. Keimanan hanya tinggal pemikiran yang tidak berbekas dalam perbuatan. Ada orang baik tapi tak berakal, ada orang berakal tapi tak beriman. Ada lidah fasih tapi berhati lalai, ada yang khusyuk namun sibuk dalam kesendirian. Ada ahli ibadah tapi mewarisi kesombongan iblis. Ada ahli maksiat yang rendah hati bagaikan sufi. Ada yang terlalu banyak tertawa hingga hatinya berkarat dan ada yang banyak menangis karna kufur nikmat. Ada yang murah senyum tapi hatinya mengumpat dan ada yang berhati tulus tapi wajahnya cemberut. Ada yang berlisan bijak tapi tak memberi teladan dan ada pelacur yang tampil jadi figur. Ada orang punya ilmu tapi tak faham, ada yang faham tapi tak menjalankan. Ada yang pintar tapi membodohi, ada yang bodoh dan tak tau diri. Ada orang beragama tapi tak berakhlak, ada yang berakhlak tapi tak bertuhan. Lalu di antara semua itu dimana aku berada ? (Imam Ali bin Abi Thalib R.A)
Bangsa Indonesia kini sedang mengalami krisis multi dimensi. Mulai dari krisis etika, krisis moral, krisis penegakan hukum, krisis sosial, krisis politik, krisis ekonomi, krisis keadilan, krisis kewibawaan lembaga Negara, krisis kepemimpinan, daerah ingin menguasai sumber daya alam strategis, sentimen kedaerahan, daerah minta merdeka hingga disintegrasi bangsa tampak jelas terlihat di hadapan anak-anak bangsa sebagai generasi penerus di masa depan.
banyak orang berbahasa yang baik dengan maksud yang buruk! yakni, Janji-janji muluk dari para pemimpin yang masih menggunakan cara berpikir ala “zionisme” (kekuasaan). Di dalam merumuskan serta menetapkan peraturan-peraturan formal yang digunakan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peraturan-peraturan formal tersebut justru semakin merusak tatanan etika yang menjadi kearifan lokal di lingkungan. Hingga semakin mengikis habis moral anak bangsa, yang kelak menjadi putra dan putri terbaik bangsa.
keluarga sebagai pusat sterilisasi setiap prilaku A Moral dan A etika yang berkembang di lingkungan, kian hari semakin melemah. akibat semakin tingginya tingkat kemiskinan (miskin ilmu), kebodohan yang semakin merajalela, keterbelakangan budaya (dampak imperialisme budaya), ketertindasan kreatifitas (rutinitas kerja yang monoton) dan penjajahan (eksploitasi sumber daya manusia) melalui pemaksaan-pemaksaan kontrak kerja yang hanya menguntungkan sebelah pihak.
hanya orang yang berani dan benar-benar mengerti bangsa indonesia yang mampu menyelesaikan segala permasalahan-permasalahan yang telah tersebar, mengakar, masif dan tandem. Kepemimpinan yang berkarakter jati diri bangsa indonesia sebagai identitas. yakni, komitmen untuk mengangkat harkat dan martabat hidup rakyat Indonesia. Sehingga, kepemimpinan yang berkarakter jati diri bangsa indonesia merupakan kebutuhan bangsa Indonesia yang harus disegerakan realisasinya.
singkat kata, bangsa indonesia “Krisis Keteladanan”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar